Tanggung Jawab Suami Sesuai Ajaran Nabi
LATAR BELAKANG
Almalik SWT menciptakan seluruh makhluk berpasang-pasangan tanpa kecuali, sekecil apapun ciptaan Allah SWT pasti mempunyai pasangannya masing-masing tidak terkecuali turunan. Sebagai makluk Sang pencipta SWT yang minimum teoretis dan juga sebagai khalifah di cahaya muka Manjapada, manusia mempunya tanggung jawab mematuhi ketentuan-ketentuan yang Allah SWT. telah tetapkan baik melalui Firman-Nya maupun memalui Titah Rasul-Nya. Salah satu ketentuan-Nya ialah tentang pernikahan dan beban jawab nan ketimbul akibat adanya pernikahan tersebut.
Setiap hamba allah pasti mempunyai kemauan untuk menikah dan membangun rumah tangga yang harmonis karena menikah ialah salah satu sunnatullah. Tetapi banyak sekali flat tangga yang lain bahagia disebabkan kurangnya mualamat pasangan laki istri adapun bagaimana membentuk suatu rumah tataran nan sakinah mawadah dan rahmah sesuai wahi Al-Qur’an.
Menikah bukan hanya berniat buat meneruskan pertalian keluarga, namun seyogyanya menikah merupakan ikatan sah dari dua insan farik, dua karakter yang berbeda, dua manah yang berbeda, dan dua resan yang berlainan yang kemudian disatukan dalam bahtera kondominium janjang sebagai suami isteri. Penyatuan tersebut karuan akan menimbulkan hak dan bahara antara keduanya, sehingga Halikuljabbar SWT sebagai Sang Maha Kreator n domestik Firmannya telah memberikan aturan-aturan lakukan anak adam, agar turunan mencatat akan hoki dan kewajibannya sebagai suami istri gelap sehingga pada akhirnya boleh mengantarkan rumah tangganya sebagai suatu lingkungan yang harmonis seperti mana nilai-biji yang terkandung dalam Al-Qur’an.
PEMBAHASAN
Tujuan Ijab kabul Menurut Al-Qur’an
Internal ajaran Islam, pernikahan merupakan akad yang sangat lestari dan salah satu ibadah yang terdorong dengan kebiasaan-aturan yang sudah digariskan oleh Allah SWT. dan RasulNya. Oleh karena itu, pernikahan lain perkara berlaku, dan bikin mendatangi ke sebuah relasi pernikahan, calon junjungan isteri haruslah mempunyai bekal laporan tentang bagaimana kaidah membina flat tangga yang sakinah mawaddah dan rahmah sesuai skor-biji yang terkandung privat Al-Qur’an.
Penciptaan pria dan perempuan dari diversifikasi manusia yakni salah suatu diantara bukti nan menunjukkan keesaan-Nya. Dengan menjadikan turunan berpasang-pasangan, Allah SWT. ingin mengasihkan ketenangan kerjakan pasangan tersebut dan bakal bersenang-suka diantara keduanya. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surah Ar-Kepala susu ayat 21 bak berikut:
وَ مِنْ اٰیٰتِهٖۤ اَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوْۤا اِلَیْهَا وَ جَعَلَ بَیْنَكُمْ مَّوَدَّةً وَّ رَحْمَةًؕ-اِنَّ فِیْ ذٰلِكَ لَاٰیٰتٍ لِّقَوْمٍ یَّتَفَكَّرُوْنَ.
Artinya: “dan di antara tanda-tanda kebesarannya ialah dia menciptakan kutub-jodoh untukmu dari jenismu koteng agar kamu merentang dan merasa tenteram kepadanya dan dia menjadikan diantara ia rasa kasih dan sayang.”
Ayat tak yang memiliki makna serupa : [1]
هُوَ الَّذِیْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَّفْسٍ وَّاحِدَةٍ وَّ جَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا لِیَسْكُنَ اِلَیْهَاۚ
Artinya : “dialah nan menciptakan kamu bersumber sukma yang satu (Lelaki) dan darinya dia menciptakan pasangannya, agar ia merasa senang kepadanya.”
Senapas dengan maksud dari pasal 3 Kompilasi Syariat Islam bahwa perkawinan berujud cak bagi mewujudkan semangat rumah janjang nan sakinah, mawaddah, dan rahmah.[2] Dan untuk mewujudkan tujuan tersebut diperlukan komitmen laki isteri untuk menjalankan eigendom dan bagasi per sesuai kemampuan. Junjungan mejalankan kewajibannya sebagai suami sekaligus kepala kondominium pangkat dan ayutayutan menjalankan kewajibannya umpama istri sekaligus ibu kondominium tangga, sehingga akan tercipta satu suasana nan harmonis jika semua pikulan boleh dijalankan. Tentu timbal baliknya dengan terlaksananya semua bahara maka hak-peruntungan seumpama suami alias sebagai ulam-ulam sekali lagi akan terkabul dengan sendirinya, sehingga ketentraman (sakinah) nan berlandaskan rasa hidayah sayang dalam menjalani bahtera flat tangga sebagai suatu pamrih perkawinan akan mudah terpuaskan.
Kewajiban Suami terhadap Isteri Menurut Al-Qur’an
Akad pernikahan n domestik syariat Selam lain seperti akad kepemilikan. akad ijab nikah diikat dengan memperhatikan adanya beban-kewajiban di antara keduanya. Intern hal ini suami punya bagasi nan lebih berat dibandingkan istrinya beralaskan firman-Nya “akan namun para junjungan mempunyai satu tingkatan arti daripada istrinya”. Pengenalan suatu tingkatan khasiat dapat ditafsirkan dengan firmannya : “Kabilah laki-junjungan itu merupakan pembesar bikin kabilah wanita…” (QS. An-Nisa ayat 34).[3]
Plong dasarnya muatan suami lagi yakni properti isteri, sehingga jika berfirman tentang tanggung suami terhadap isteri, maka bisa juga berjasa milik isteri atas junjungan.
Kewajiban merupakan segala apa situasi yang harus dilakukan maka dari itu setiap sosok, sementara hak yakni apa sesuatu nan harus diterima oleh setiap sosok.[4]
Dari definisi di atas, penulis memendekkan bahwa kewajiban yaitu segala ulah nan harus dilaksanakan oleh individu maupun gerombolan sesuai ketentuan yang telah ditetapkan.
Menurut Abdul Wahab Khallaf bahwa properti terdiri dari dua macam yaitu eigendom Allah dan hak Adam.[5] Dan eigendom isteri atas suami tentunya ialah dimensi mengufuk yang menyangkut hubungan dengan sesama manusia sehingga bisa dimasukkan kerumahtanggaan kategori nasib baik Lelaki. Akan halnya yang menjadi eigendom gendak atau boleh juga dikatakan kewajiban suami terhadap isteri adalah sebagai berikut:
-
Mahar
Menurut Mutafa Diibul Bigha, Isi kawin yaitu kekayaan yang harus diberikan oleh seorang adam (calon laki) kepada upik (nomine isteri) karena pernikahan.[6]
Pemberian mahar kepada calon ayutayutan merupakan suratan Allah SWT. bagi calon junjungan sebagaimana tertulis dalam Al-Qur’an arsip An-Nisa ayat 4 nan berbunyi:
وَ اٰتُوا النِّسَآءَ صَدُقٰتِهِنَّ نِحْلَةًؕ-فَاِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَیْءٍ مِّنْهُ نَفْسًا فَكُلُوْهُ هَنِیْٓــٴًـا مَّرِیْٓــٴًـا
Artinya: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (nan anda nikahi) sebagai belas kasih dengan munjung kerelaan. Kemudian kalau mereka menyerahkan kepada kamu sebagian mulai sejak maskawin itu dengan demen lever, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap kembali baik risikonya.”
Dalam Tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwa kata النِحْلَةًؕ menurut lbnu ‘Abbas artinya mahar/maskawin. Menurut ‘A’isyah, النِحْلَةًؕ adalah sebuah keharusan. Sedangkan menurut Ibnu Zaid النِحْلَةًؕ n domestik congor manusia Arab, artinya sebuah tanggung. Maksudnya, seorang lelaki diperbolehkan mengawini perempuan dengan sesuatu yang wajib diberikan kepadanya, merupakan mahar yang sudah ditentukan dan disebutkan jumlahnya, dan pada detik pemasukan mahar harus pula disertai dengan keberadaan hati sang calon suami.[7]
Senada dengan tafsir ath Thabari sekali lagi menjelaskan bahwa Perintah memberikan mahar (n domestik surat An-Nisa ayat 4) yaitu perintah Allah SWT. yang ditujukan sekalian kepada para junjungan dengan jumlah mahar yang telah ditentukan bakal diberikan kepada isteri.[8]
Praktik pemberian mahar tidak semua dibayarkan tunai ketika akad rangkaian dilangsungkan, cak semau juga sebagian laki yang menunda pembayaran maskawin istrinya ataupun membayarnya dengan sistem cicil, dan ini dibolehkan dalam Islam dengan syarat adanya kesepakatan dari kedua belah pihak, hal ini setara dengan hadits Utusan tuhan saw. yang berbunyi, “sebaik-baik maskawin adalah isi kawin nan paling mudah (ringan).” (HR. al-Hakim : 2692, beliau mengatakan “Hadits ini shahih bersendikan syarat Bukhari Orang islam.”)[9]
- Nafkah, Pakain dan Tempat Silam.
Perut berusul dari bahasa arab (an-nafaqah) yang artinya pengeluaran. Merupakan Pengeluaran yang lazimnya dipergunakan oleh seseorang lakukan sesuatu yang baik atau dibelanjakan untuk orang-orang yang menjadi pikulan jawabnya.[10]
Fuqaha sudah seia sekata bahwa nafkah terhadap gula-gula itu mesti atas junjungan yang merdeka dan berada di arena. Tentang suami yang melanglang jauh, maka jumhur fuqaha tetap mewajibkan suami atas nafkah untuk istrinya, sedangkan Pendeta Abu Hanifah tidak memerintahkan kecuali dengan putusan penguasa.[11] Tentang kewajiban kandungan ini telah dijelaskan Tuhan SWT. dalam Al-Qur’an dokumen Al Baqarah ayat 233.
وَ الْوَالِدٰتُ یُرْضِعْنَ اَوْلَادَهُنَّ حَوْلَیْنِ كَامِلَیْنِ لِمَنْ اَرَادَ اَنْ یُّتِمَّ الرَّضَاعَةَؕ-وَ عَلَى الْمَوْلُوْدِ لَهٗ رِزْقُهُنَّ وَ كِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِؕ-لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ اِلَّا وُسْعَهَا
Artinya:
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun munjung, adalah bagi nan ingin menetapi penyusuan. Dan bagasi ayah memberi bersantap dan gaun kepada para ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kodrat kesanggupannya.”
Maksud dari kata الْمَوْلُوْدِ لَهٗ pada ayat di atas adalah ayah kandung si anak asuh. Artinya, ayah si anak diwajibkan menjatah kandungan dan baju untuk ibu dari anaknya dengan kaidah yang ma’ruf. Yang dimaksud dengan بِالْمَعْرُوْفِ adalah menurut sifat yang telah main-main di masyarakat minus berlebih-lebihan, juga tidak terlalu di bawah adab, dan disesuaikan sekali lagi dengan kemampuan finansial ayahnya.[12]
Mengenai menyediakan panggung tinggal yang cukup yakni juga pikulan koteng suami terhadap istrinya sama dengan Firman Allah SWT berikut:
اَسْكِنُوْهُنَّ مِنْ حَیْثُ سَكَنْتُمْ مِّنْ وُّجْدِكُمْ…
Artinya “Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu (suami) berkampung tinggal menurut kemampuan anda,…” (QS. Ath Thalaaq: 6).
- Menggauli istri gelap secara baik.
Mengawani candik dengan baik dan adil yakni riuk satu bagasi suami terhadap istrinya. Begitu juga Firman Almalik dalam Alquran surat an-Nisa ayat 19 yang berbunyi:
یٰۤاَیُّهَا الَّذِیْنَ اٰمَنُوْا لَا یَحِلُّ لَكُمْ اَنْ تَرِثُوا النِّسَآءَ كَرْهًاؕ وَلَا تَعْضُلُوْهُنَّ لِتَذْهَبُوْا بِبَعْضِ مَاۤ اٰتَیْتُمُوْهُنَّ اِلَّاۤ اَنْ یَّاْتِیْنَ بِفَاحِشَةٍ مُّبَیِّنَةٍۚ وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِۚ-فَاِنْ كَرِهْتُمُوْهُنَّ فَعَسٰۤى اَنْ تَكْرَهُوْا شَیْــٴًـا وَّیَجْعَلَ اللّٰهُ فِیْهِ خَیْرًا كَثِیْرًا
Artinya:”Hai orang-anak adam yang berketentuan, tidak resmi kerjakan kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mencekit pun sebagian berpunca segala apa nan telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pencahanan buas nan riil. Dan bergaullah dengan mereka secara layak. Kemudian bila anda tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak mengesir sesuatu, sementara itu Allah menjadikan padanya kemustajaban yang banyak.”
Maksud dari alas kata وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ adalah ditujukan kepada suami-suami seyogiannya berkata dengan baik terhadap para istri dan berpose dengan baik dalam kelakuan dan performa. Sama dengan junjungan juga menyukai hal tersebut dari istrinya, maka hendaklah suami melakukan hal yang sama. Sebagaimana hadist dari riwayat ‘A’isyah ra., bahwasanya Rasulullah saw. berucap, “Sesegak-baik kalian ialah yang paling baik terhadap keluarganya, dan aku adalah orang yang paling baik terhadap keluargaku”. Dan di antara akhlak Rasulullah saw. ialah memperlakukan keluarganya dengan baik, buruk perut bergembira bermain dengan keluarga, bersegi manis, bersikap letoi lembut, memberi kelapangan intern hal nafkah, dan bersenda gurau bersama istri gelap-istrinya.[13]
Akan halnya Imam Asy-Sya’matahari Rahimahullah mengatakan, وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ , Pengenalan الْمَعْرُوْف memiliki signifikasi yang lebih tangga tingkatannya dari kata
al–mawaddah. Karena makna prolog
al-mawaddah
berfaedah perbuatan baik kita kepada orang lain hanya didasarkan karena rasa cinta (al-hubb) atau karena kita merasa suka dan bahagia dengan kerelaan orang itu. Akan halnya kata الْمَعْرُوْف maknanya kita berbuat baik kepada seseorang yang belum pasti kita sukai ataupun kita senangi.[14] Artinya kalau satu momen gula-gula kita sudah tidak lagi menarik secara fisik ataupun keberadaannya sudah tidak ki menenangkan amarah pun bahkan kobar kekhisitan dihati, maka tetaplah bertindak makruf terhadapnya dan bergaul dengannya dengan seutuhnya perlakuan sebagaimana perintah ayat tersebut, karena boleh jadi suatu sisi dia buruk namun pada sisi lainnya banyak manfaat-kebaikannya yang bisa menghampari keburukannya tersebut.
- Menjaga gendak dari dosa.
Sudah menjadi kewajiban koteng kepala rumah tangga lakukan memberikan pendidikan agama kepada gula-gula dan anak-anaknya sepatutnya taat kepada Allah dan RasulNya. Dengan teologi seseorang mampu melepaskan baik dan buruknya prilaku dan dapat menjaga diri dari berbuat dosa. Selain ilmu agama, seorang laki juga wajib memasrahkan nasehat atau sapa saat istrinya khilaf ataupun lupa ataupun meninggalkan bahara dengan alas kata-kata bijak yang tidak merungkah hati si gendak, sebagaimana Firman Allah SWT. surah At-Tahrim ayat 6 berikut :
یٰۤاَیُّهَا الَّذِیْنَ اٰمَنُوْا قُوْۤا اَنْفُسَكُمْ وَ اَهْلِیْكُمْ نَارًا وَّ قُوْدُهَا النَّاسُ وَ الْحِجَارَةُ عَلَیْهَا مَلٰٓىٕكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا یَعْصُوْنَ اللّٰهَ مَاۤ اَمَرَهُمْ وَ یَفْعَلُوْنَ مَا یُؤْمَرُوْنَ
Artinya: “Hai sosok-sosok nan beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu berusul api neraka yang mangsa bakarnya adalah orang dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Sang pencipta terhadap barang apa nan diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”
- Memberikan cinta dan rahmat cangap kepada istri.
Sebagaimana Firman Tuhan SWT. dalam surat Ar Kepala susu ayat 21 di atas pada kalimat وَ جَعَلَ بَیْنَكُمْ مَّوَدَّةً وَّ رَحْمَةًؕ dapat juga dimaknai bahwa seorang suami wajib memberikan sayang dan kasih sayang kepada istrinya nan tercurahkan dalam perlakuan dan tuturan yang mampu membuat rasa tenang dan nyaman bagi ayutayutan dalam menjalankan fungsinya misal gula-gula bertepatan ibu apartemen tangga. Tentang bentuk perlakuan tersebut bisa berupa perhatian, keridaan, keromantisan, kemesraan, bisikan, senda gurau, dan seterusnya.
Dalam memberikan cinta dan rahmat sayang bukanlah atas radiks segara kecilnya rasa cinta kita kepada candik, akan tetapi hal tersebut merupakan perintah Tuhan SWT. agar suami istri saling mencinta dan berkasih sayang seumpama wujud kepatuhan kepada Allah SWT. Jika mengasihkan cak acap dan hadiah sayang antara suami gendak sudah disandarkan pada perintah Allah SWT. maka
as-sakiinah
(ketentraman) dalam rumah tinggi akan mudah kita capai.
Kewajiban Isteri Terhadap Suami Menurut Al-Qur’an
1. Taat kepada junjungan
Mentaati suami merupakan perintah Allah SWT. sebagaimana yang tersirat kerumahtanggaan Al-Qur’an Surah An-Nisa ayat 34 sebagai berikut:
اَلرِّجَالُ قَوّٰمُوْنَ عَلَى النِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعْضَهُمْ عَلٰى بَعْضٍ وَّ بِمَاۤ اَنْفَقُوْا مِنْ اَمْوَالِهِمْؕ-فَالصّٰلِحٰتُ قٰنِتٰتٌ حٰفِظٰتٌ لِّلْغَیْبِ بِمَا حَفِظَ اللّٰهُؕ-وَ الّٰتِیْ تَخَافُوْنَ نُشُوْزَهُنَّ فَعِظُوْهُنَّ وَ اهْجُرُوْهُنَّ فِی الْمَضَاجِعِ وَ اضْرِبُوْهُنَّۚ-فَاِنْ اَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوْا عَلَیْهِنَّ سَبِیْلًاؕ-اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِیًّا كَبِیْرًا
Artinya : Kaum lelaki itu adalah pemimpin bakal kabilah wanita, maka dari itu karena Allah mutakadim melebihkan sebahagian mereka (lanang) atas sebahagian yang tidak (wanita), dan karena mereka (laki-laki) sudah lalu menafkahkan sebagian pecah harta mereka. Sebab itu maka wanita nan salehah adalah yang patuh kepada Halikuljabbar lagi memelihara diri ketika suaminya bukan ada, makanya karena Allah mutakadim memelihara (mereka). Wanita-wanita yang sira khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di petiduran mereka, dan pukullah mereka. Kemudian kalau mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari perkembangan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi juga Maha Besar.
Menurut Ibnu Abbas internal kata keterangan Ibnu Katsir, nan dimaksud berusul اَلرِّجَالُ قَوّٰمُوْنَ عَلَى النِّسَآءِ adalah kabilah lanang merupakan pemimpin bagi kaum wanita. Artinya privat rumah pangkat seorang junjungan yaitu kepala kondominium janjang yang harus didengar dan ditaati perintahnya, oleh karenaa itu sudah mudahmudahan koteng Istri mentaati suaminya jika memerintahkannya dalam kebaikan. Menurut Ibnu Abbas maksud kata قٰنِتٰتٌ yakni para istri nan tegar kepada suami.[15] Artinya wanita sholeh itu salah satu tandanya adalah konstan kepada laki selama perintahnya tidak menyelisihi Allah dan Rasulnya.
2. Mengikuti kancah sangat laki
Selepas menikah biasanya yang jadi persoalan laki istri adalah tempat adv amat, karena resan orang Indonesia sreg waktu-masa awal menikah suami istri gelap masih masuk di rumah ayah bunda riuk satu pasangan tinggal kemudian mengejar palagan dulu sendiri. Privat situasi ini seorang istri harus mengikuti dimana suami beralamat dulu, entah itu di apartemen basyar tuanya atau di panggung kerjanya. Karena situasi tersebut merupakan kewajiban seorang istri untuk mengikuti dimana suami bertempat suntuk, sebagaimana firman Tuhan SWT sebagai berikut:
اَسْكِنُوْهُنَّ مِنْ حَیْثُ سَكَنْتُمْ مِّنْ وُّجْدِكُمْ…
Artinya “Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu (suami) berdiam tinggal menurut kemampuan anda,…” (QS. Ath Thalaaq: 6).
3. Menjaga diri saat suami lain ada
Seorang wanita yang sudah menikah dan memulai rumah tangga maka harus membatasi pengunjung-tamu yang cak bertengger ke kondominium. Ketika ada tamu tara jenis maka yang harus dilakukan adalah enggak menerimanya masuk ke dalam rumah kecuali takdirnya suka-suka suami yang menggauli dan seizin suami. Karena perkara yang dapat berpotensi mendatangkan caci haruslah dihindari. Allah SWT berkata, “Wanita shalihah yakni yang tetap kepada Allah dan menjaga diri saat suaminya tidak suka-suka makanya karena Almalik mutakadim memelihara mereka.” (QS. Annisa:34).
Kesimpulan
Mulai sejak pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa Al-Quran telah memberi ramalan kepada pasangan suami istri tentang bagaimana semestinya membina rumah tangga agar dapat mendatangkan
sakinah mawaddah
dan
rahmah
dalam flat tangga. Pasti caranya tidak lain yaitu dengan menjalankan kewajiban masing-masing bagaikan suami istri.
Akan halnya kewajiban suami terhadap isteri yakni mengasihkan mahar kawin, nafkah yang pas sesuai kemampuan, pakain dan Tempat Terlampau, menggauli gendak secara makruf (baik), menjaga ampean dari dosa, memberikan camar dan pemberian sayang. Selain laki, gendak juga harus menjalankan kewajibannya terhadap suami, yakni mentaati junjungan, mengikuti panggung tinggal suami, melayani kebutuhan biologis suami kecuali ada pematang syar’i, menjaga diri saat laki tak ada, dan tidak keluar rumah kecuali dengan izin junjungan..
DAFTAR Bacaan
Al-Khalidi, Shalah ‘Abdul Fattah.
Mudah Kata keterangan Anak lelaki Katsir Jilid 1 Shahih, Bersistem, Lengkap,
terj. Engkos Kosasih, et al, cet. kedua. Jakarta: Maghfirah Pustaka, 2017.
________
Mudah Tafsir Anak laki-laki Katsir Jilid 2 Shahih, Sistematis, Lengkap,
terj. Engkos Kosasih, et al. Jakarta: Maghfirah Wacana, 2017.
Arifandi, Firman.
Serial Hadist 6 : Hak Tanggung Laki Gendak. Jakarta : Flat Fiqih Publishing. 2020.
Asy-Sya’rawi, Muhammad Mutawalli.
Laki Istri Bertabiat Surgawi, terj. Ibnu Barnawa, cet. kelima. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2010.
Bigha, Musthafa Diibul.
Ihtisar Hukum-Syariat Islam Praktis, alih bahasa oleh Uthman Mahrus. Semarang: Asy Syifa’, 1994.
Dahlan, Abdul Azis et al.
Ensiklopedi Hukum Islam, vol. 4. Jakarta: PT Ichtiar Bau kencur Van Hoeve, 2000.
Departemen Agama RI. Bahan Penyuluhan Hukum, ed. V. Jakarta: Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 2001.
Khallaf, Abdul Wahab.
Mandu-mandu Hukum Islam, Ilmu Ushul Fiqh, terj. Noer Iskandar al Barsany dan Moh. Tolhah Mansoer, Ed. I, cet. VII. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.
Ma’ani, Abd al-‘Adzim dan Ahmad al-Ghundur.
Hukum-Hukum dari Al-Qur’an dan Hadis, terj. Usman Sya’roni. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003.
Muhammad, Serdak Ja’far bin Jarir Ath-Thabari.
Tafsir Ath-Thabari Jilid 6. Jakarta: Pustaka Azzam, 2009.
Nida, Shofia. “Junjungan Tidaklah Sama Dengan Superior Nan Dapat Memerintah Istrinya Sesuka Hati”, dalam https://www.brilio.net/wow/bahara-seorang-laki-terhadap-ulam-ulam-intern-ajaran-agama-islam-2006108.html. 10 Juni 2020.
Rusyd, Ibni.
Tarjamah Bidayatu ’l-Mujtahid, terj. M. A. Abdurrahman dan A. Haris Abdullah. Semarang: Asy Syifa’, 1990.
[1] al-A’raf,7: 189.
[2] Departemen Agama RI, Korban Penyuluhan Syariat, ed. V (Jakarta: Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 2001), 167.
[3] Abd al-‘Adzim Ma’ani dan Ahmad al-Ghundur,
Hukum-Hukum mulai sejak Al-Qur’an dan Hadis, terj. Usman Sya’roni (Jakarta: Referensi Firdaus, 2003), 108.
[4] Firman Arifandi,
Serial Hadist 6 : Hak Bagasi Suami Istri
(Jakarta : Kondominium Fiqih Publishing, 2020), 7.
[5] Abdul Wahab Khallaf,
Kaidah-prinsip Hukum Selam, Ilmu Ushul Fiqh, terj. Noer Iskandar al Barsany, Moh. Tolchah Mansoer, Ed. I., cet. VII (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), 340.
[6] Musthafa Diibul Bigha,
Ihtisar Hukum-Hukum Islam Praktis, terj. Uthman Mahrus (Semarang: Asy Syifa’, 1994), 244.
[7] Shalah ‘Abdul Fattah Al-Khalidi,
Mudah Kata keterangan Ibnu Katsir Jilid 2: Shahih, Berstruktur, Eksemplar,
terj. Engkos Kosasih, dkk (Jakarta: Maghfirah Referensi, 2017), 215-216.
[8] Abuk Ja’far Muhammad kedelai Jarir Ath-Thabari,
Kata keterangan Ath-Thabari Jilid 6
(Jakarta: Wacana Azzam, 2009), 415.
[9] Shofia Nida, “Suami Tidaklah Begitu juga Pemimpin Yang Bisa Memerintah Istrinya Semaunya”, dalam https://www.brilio.pukat/wow/beban-sendiri-junjungan-terhadap-candik-kerumahtanggaan-ajaran-agama-selam-2006108.html (10 Juni 2020).
[10] Abdul Azis Dahlan et al.,
Ensiklopedi Hukum Islam, vol. 4 (Jakarta: PT Ichtiar Plonco Van Hoeve, 2000), 1281.
[11] Ibnu Rusyd,
Tarjamah Bidayatu ’l-Mujtahid, terj. M. A. Abdurrahman dan A. Haris Abdullah (Semarang: Asy Syifa’, 1990), 464-465.
[12] Shalah ‘Abdul Fattah Al-Khalidi,
Mudah Tafsir Ibnu Katsir Jilid 1: Shahih, Sistematis, Lengkap,
terj. Engkos Kosasih, et al., cet. kedua (Jakarta: Maghfirah Pustaka, 2017), 446
[13] Shalah ‘Abdul Fattah Al-Khalidi,
Mudah Kata keterangan Ibnu Katsir Jilid 2: Shahih, Sistematis, Lengkap,
terj. Engkos Kosasih, et al., cet. kedua (Jakarta: Maghfirah Pustaka, 2017), 248.
[14] Muhammad Mutawalli Asy-Sya’rawi,
Suami Istri Berwatak Surgawi, terj. Anak lelaki Barnawa, cet. kelima (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2010), 169.
[15] Shalah ‘Abdul Fattah Al-Khalidi,
Mudah Adverbia Ibnu Katsir Jilid 2: Shahih, Sistematis, Lengkap,
terj. Engkos Kosasih, et al., (Jakarta: Maghfirah Pustaka, 2017),288.
Source: https://pa-palangkaraya.go.id/hak-dan-kewajiban-suami-isteri-dalam-perspektif-al-quran/
Posted by: belajar.ihowin.com